Friday, October 28, 2016

When Life Gives Us Magic...

Autumn shows us how beautiful it is to let things go...
A fallen leaf is nothing more than a summer's wave of goodbye.

Kelahiran.
Kemelekatan.
Peperangan.
Kepulangan.

Siklus kehidupan. Keajaiban cinta Sang Maha Digdaya.
Sekuat apapun kita berupaya mempertahankannya, jika IA berhendak untuk kita melepaskannya... keberserahan dan keikhlasan... itulah yang nyatanya membuat setiap akhir menjadi indah dan penuh makna. 

Setelah menanti selama beberapa warsa, musim gugur tahun ini menjadi beautiful reminder bagi saya. Meskipun awalnya batin saya berkonflik, namun kesadaran juga yang menuntun saya untuk menyelaraskan antara pikiran dan perasaan saya. I was dealing with my own battle, and only God could help me, and show me the way. 

Broken crayons still color.
Betul sekali. 

What's broken can be mended. What's hurt can be healed. No matter how dark it gets is gonna rise again.

Tuhan telah menuliskan semua agendaNya di Lauh Mahfuz untuk saya jalani. 
Saya mensyukuri keindahan yang IA telah karuniakan. 
WaktuNya juga yang meminta saya untuk melepaskannya...
Dan, keberserahan padaNya lah yang memampukan saya membuka pintu jiwa ini, membiarkannya berlalu, mengalirkan segenap rasa... mengembalikan padaNya.

Setelah beberapa saat IA berikan saya kesempatan merasakan keindahan itu.

Every experience. Every trial. Every emotion is part of His Divine plan.
The pens have been lifted and the ink has dried. 
Maktub. It's written. 

My dear,
I was made for loving you, eventhough I can't be with you.
Meeting you was like listening to a song for the first time, and knowing it would be my favorite. 
You came into, return, open, and sweep through my life for a myriad of reasons. God's reasons. 
I can never unlove you, darling... I'll just love you in a different way now.
So, I miss you. I send you love and light every time I think of you.
Farewell, my dear...
I'm sure you crossed my path in style.
Thank you for your love and all the loving memories.
Ever remember we had a thing so rare... we were best friends and skilled lovers, both we helped one another to be a home and an adventure all at once. 
May this parting be warm and sweet. 
Blessed be, Love...


After A While

After a while you learn
the subtle difference between
holding a hand and chaining a soul
and you learn
that love doesn’t mean leaning
and company doesn’t always mean security.
And you begin to learn
that kisses aren’t contracts
and presents aren’t promises
and you begin to accept your defeats
with your head up and your eyes ahead
with the grace of woman,
not the grief of a child
and you learn
to build all your roads on today
because tomorrow’s ground is
too uncertain for plans
and futures have a way of falling down
in mid-flight.
After a while you learn
that even sunshine burns
if you get too much
so you plant your own garden
and decorate your own soul
instead of waiting for someone
to bring you flowers.
And you learn that you really can endure
you really are strong
you really do have worth
and you learn
and you learn
with every goodbye, you learn…
~ 1971, Veronica A. Shoffstall. Source.

Saturday, September 24, 2016

Hope Floats

"I said to my soul, be still and wait without hope, for hope would be hope for the wrong thing; wait without love, for love would be love of the wrong thing; there is yet faith, but the faith and the love are all in the waiting. Wait without thought, for you are not ready for thought: So the darkness shall be the light, and the stillness the dancing.” ― T.S. Eliot 

Hope Floats
Itu sebenarnya judul film yang dibintangi Sandra Bullock dan Harry Connick, Jr. 
Saya menontonnya pada September 1998. Wow... 18 tahun yang lalu ternyata.
Ada kenangan tersendiri terkait film itu. Bukan tentang filmnya. Tapi bahwa saat nobar dengan teman-teman itu, saya dipertemukan dengan seseorang yang ternyata sekian bulan kemudian melamar saya menjadi isterinya. Dan, dia lah ayah dari puteri tunggal kami. 

Usia saya waktu itu 32 tahun. Belum menikah. Dan, teman-teman nobar saya semuanya berstatus single, yang umumnya mulai deg-degan dengan status jomblo-nya itu. Termasuk saya... ha ha ha...

Yang menarik dari acara hang-out itu, karena memang sengaja diadakan supaya kami yang masih rajin melirik kiri-kanan mencari potensi kandidat buat dijajagi sebagai bakal pasangan hidup ini, punya kesempatan untuk tetap bisa menikmati kesendirian namun nggak kikuk karena ada yang nemenin dan punya agenda yang sama. We were in the same boat. 

Maklum jaman saya umur segitu, nggak lazim aja perempuan belum menikah. Status single sering mengundang orang lain berasumsi yang bukan-bukan. Saya sendiri sering banget menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang mengundang "emosi jiwa" (istilah teman-teman saya), dan bikin jadi sensitip (kata orang Sunda). Apalagi karena adik laki-laki saya yang semata wayang menikah lebih dulu dari kakaknya ini. 

Pertanyaan mainstream seperti "Udah ada calon belum?" sampai pada komentar subyektif yang menohok di dalam dada, "Sibuk berkarir banget ya, sampai nggak sempet cari jodoh." Yuuuukkkkk... Dan, saya pun cuma bisa senyum tanpa menanggapi apapun. Yang nggak jarang bikin orang yang bertanya makin bingung. 

Kembali ke Hope Floats...
Meskipun judul filmnya begitu afirmatif dan menjanjikan, waktu saya diajak teman-teman kumpul di Sabtu sore itu dan agendanya nonton film bareng, secara "saya mah gitu orangnya" (kekinian banget sik kalimatnya)... ha ha ha... saya confirmed untuk ikut, meskipun dengan pesan sponsor, "Gue cuma ikutan nonton filmnya aja ya, nggak ikut dinner bareng, soalnya udah ada janji yang lain." So, I just went with the flow. Seneng aja bisa kumpul bareng teman-teman "senasib seperjuangan"... qiqiqiqiqi... dan nonton film yang bintangnya saya suka. Drama percintaan pulak! One of my favorite kind of movies.

 
Saya nggak tahu, bahwa Tuhan punya agendaNya tersendiri.
Justru di saat saya sedang asik melenggang kangkung dengan kesendirian saya, DIA pertemukan saya dengan sahabat dari teman baik saya, yang dia kenal sejak mereka SD. Bahkan SMP dan SMA mereka pun di sekolah yang sama. Layaknya orang baru bertemu, ya kami pun saling berkenalan. Dia yang ulurkan tangan, "Kita duduk sebelahan, tapi belum kenalan." Saya jabat tangannya, sambil sebutkan nama panggilan saya. That's it. Saya sendiri tidak menaruh harapan apapun. Bahkan kesan yang muncul pun sangat biasa. 

Biasa buat saya, tapi ternyata istimewa bagi Tuhan. Dan saya nggak ngeh, sampai empat bulan kemudian, di bulan Ramadhan. Dengan teman-teman yang sama dan sehaluan itu, kami buat acara nobar lagi plus buka puasa bersama. Saat itu bulan Ramadhan 1999. Dan, saya pun dipertemukan lagi dengan dia. 

Uniknya pada kumpul bareng yang kedua kali itu, kami duduk bersebelahan lagi. Dan, di sela obrolan kami, tiba-tiba dia mengajukan pertanyaan, "Elo lagi ambil S2 ya?", singkat saya jawab, "Iya. Kenapa?", lalu dia melanjutkan pertanyaannya, "Kalau nanti ada yang ngelamar untuk diajak nikah, gimana?" Hmmm... sambil senyum-senyum santai saya jawab, "Ya seneng dong, itu artinya kan gue laku..." Dan kami pun tertawa sama-sama.

Anehnya, saya kok ya nggak merasa ge-er (gede rasa) dengan pertanyaan kepo-nya itu. Biasa aja. Aslik!

Sebulan setelah itu, kami bertemu lagi, dan itu atas inisiatifnya. Dia mengajak minum kopi bareng. Berdua saja. Begitulah... 

Lalu sebulan kemudian kami bertemu lagi, dan dia pun melamar saya menjadi isterinya. Enam bulan setelah deklarasi kami "jadian" itu, kami bertemu lagi... kali ini di pelaminan. Oktober 1999. Sembilan bulan kemudian, saya mengandung anak kami yang kedua. Alhamdulillah. Kehamilan saya yang pertama, dua bulan setelah menikah, mengalami keguguran. Blighted ovum

Setelah menikah, saya sempat tanyakan apa yang mendorongnya bertanya kepo sewaktu kami bertemu yang kedua kali itu? Ini katanya, "Nggak tau. Tau-tau kepingin nanya aja. Aku juga nggak ngerti. Emang kita udah jodoh aja kayaknya."

Sang Maha Cinta dan semua agendaNya. Masyaa Allah...

Never lose hope, my dear heart. 
Miracles dwell in the invisible.
-Rumi


Terima kasih gank "Desperado
(mengenang momen kebersamaan kita di malam Muli Meranai, 1998)

Wednesday, September 21, 2016

Kekuatan itu Bernama Cinta



Bagaimana perasaan orangtua jika putera yang dulu ditimang-timang, diasuh dan dirawat serta dididik, bertahun kemudian di usia mudanya memilih jalannya sendiri, menjadi teroris...???

Entah bagaimana menggambarkannya... berbaur antara shock, denial, marah, cemas, takut, bingung, sedih, kecewa... berkecamuk dan bergemuruh di dalam dada. Sejak di dalam kandungan, orangtua membangun harapan dan munajatkan do'a agar ananda yang dikasihinya tumbuh dan berkembang menjadi anak shalih, beriman kuat, berilmu tinggi dan pandai beramal. Namun jika di kemudian hari ia memilih jalan yang sangat tidak biasa dan bahkan radikal seperti menjadi teroris... umumnya orangtua tidak akan rela. Setiap orangtua menginginkan yang terbaik bagi anaknya, dan menjadi teroris tak pernah ada dalam kamus harapan dan do'a orangtua. 

Film dokumenter "Jihad Selfieyang dibuat secara khusus oleh Noor Huda Ismail, kandidat Doktor yang saat ini bermukim di Melbourne, Australia, dan berprofesi sebagai Terorrist Rehabilitation Coach, menampilkan satu sosok anak muda asal Aceh, Teuku Akbar Maulana, 18 tahun, yang nyaris berangkat ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS (Islamic State of Iraq and Syria), jaringan teroris internasional yang sepak terjangnya memunculkan keresahan di mana-mana.

Film itu saya saksikan pada Selasa malam lalu, 26 September 2016 di lantai 28 Energy Building, SCBD, Jakarta, melalui acara nobar dengan keluarga besar Bina Antarbudaya (yang menjalankan program pertukaran pelajar AFS, dimana saya dan teman-teman pernah mengikuti program tersebut berpuluh tahun lalu dengan host countries yang berbeda-beda). 

Kami beruntung saat nobar tersebut Akbar, demikian panggilan pemuda asal Aceh tersebut, berkesempatan hadir bersama kedua orangtuanya, Pak Yusri dan Ibu Rina, serta dua saudara kandung Akbar, Cut Anita (kakak) dan Cut Amira (adik). Sebelumnya Akbar dan Noor Huda selama hampir sebulan kemarin telah melakukan roadshow film dokumenter "jihad Selfie" ke beberapa kota di Indonesia, dan berdiskusi perihal film tersebut. 

Politik dan terorisme bukanlah ranah yang saya akan jamah untuk membuat tulisan ini. Namun saat menyaksikan "Jihad Selfie" dan berdialog dengan Akbar dan keluarganya, saya sempat membuat beberapa catatan berdasarkan sharing dan pengamatan saya terhadap interaksi Akbar dengan keluarganya:

1. Sejak SMP Akbar sudah merantau. Ia melanjutkan pendidikannya di kota Banda Aceh yang berjarak sekitar 8 jam perjalanan melalui darat dari desa tempat tinggalnya di Susoh, Aceh Barat Daya. Di sinilah awal kemandiriannya terasah. Tinggal jauh dari orangtua pada usia yang masih teramat belia tentu memiliki tantangan tersendiri. Ibunya bercerita bahwa selepas SD, Akbar lah yang justru meminta untuk melanjutkan pendidikan di kota dan menetap di asrama. Ia sudah tahu yang menjadi keinginannya dan mulai membangun ambisinya. Kelak kemandirian berpikir dan bertindak inilah yang menjadi bekalnya menentukan pilihan hidup yang tidak mudah baginya. Salut pada orangtua Akbar, yang memberikan restu dan kepercayaan pada puteranya untuk merantau menimba ilmu meskipun usianya masih teramat belia. (Saya sendiri baru berangkat merantau ke Jepang mengikuti program AFS saat usia saya 19 tahun. Tahun 1986-1987).

2. Selepas SMP, Akbar kembali merantau untuk melanjutkan SMA. Prestasinya di bidang akademik dan olahraga (ia berkali-kali menang dalam pertandingan Badminton), mendukungnya mendapatkan beasiswa penuh dari Turkey Diyanet Foundation. Akbar bersekolah di International Mustafa Gemirli Anatolia Imam Hatip High School di Kayseri, Turki, dimana salah seorang alumnusnya yaitu Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan. Di sekolahnya, Akbar dikenal sebagai siswa yang berprestasi. Ia piawai dalam kemampuan public speaking. Di dalam film dokumenter tersebut, ada momen yang terekam saat ia berpidato di kelasnya, dan memukau teman-teman serta gurunya. Sebagaimana umumnya remaja, ia pun sempat melalui periode yang tidak mudah, dan di saat itu lah ia sempat menghadapi konflik dengan egonya. Sebagai remaja laki-laki yang memerlukan role model, ia memiliki ketertarikan untuk tampil gagah dan macho seperti beberapa teman sekolahnya yang telah bergabung menjadi pasukan ISIS di Suriah. Melalui foto2 selfie yang dishare teman-temannya di media sosial, Akbar jadi sering membayangkan dirinya memakai seragam layaknya pejuang yang berjihad dan memegang senjata. Fokusnya pada studi mulai berkurang, apalagi menurutnya materi yang dipelajarinya di sekolah kurang memberikan tantangan. Tujuannya yang semula datang ke Turki untuk belajar, mulai goyah. Ia mulai berpikir untuk ikut program rekrutmen ISIS sebagaimana teman-temannya yang lebih dulu. Ia berada pada persimpangan jalan. Mimpinya terbelah dua, meraih cita-citanya sebagai hafiz (penghapal qur'an) dan menjadi pejuang Islam yang disiapkan untuk mati syahid. Dalam pergumulan batinnya itu, Akbar tetap menjaga komunikasi dengan kedua orangtua dan saudara-saudaranya di Aceh. Ia bahkan sharing foto-foto teman-temannya yang telah bergabung dengan ISIS. Sehingga meskipun terpisah jarak dan waktu dengan ayah-ibunya, namun rutinnya chatting yang ia lakukan melalui alat komunikasi digital dengan keluarganya, membantunya membangun komunikasi terbuka dengan kedua orangtuanya. Di sisi lain ayah-ibunya pun tetap terinformasikan mengenai kabarnya. Hal ini yang tidak terjadi pada teman-teman Akbar yang lain, terutama yang sudah pergi ke Suriah dan bergabung dengan ISIS. Bahkan di antaranya ada yang berangkat tanpa restu dari orantuanya. Allah swt punya cara indahNya untuk menjagamu, Akbar...

3. Saat menghadapi pergumulan batin itu, Akbar sempat berdialog dengan seorang gurunya di sekolah Imam Hatip (momen ini direkam oleh Noor Huda, yang memperlihatkan Akbar yang menangis menceritakan konflik yang dihadapinya). Setelahnya ia seperti merasa beban emosinya jadi jauh berkurang. Jiwanya memperoleh pencerahan. Dituntun kesadaran dan ketenangannya, Akbar akhirnya mampu membuat keputusan. Ia memilih mengikuti suara hatinya, dan memutuskan tidak jadi berangkat ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS. Hatinya lebih cenderung memilih keluarganya. Rasa cinta dan hormat pada kedua orangtuanya serta perasaan sayang terhadap kakak dan adiknya memberatkan Akbar melangkah lebih jauh. Nyawanya terlalu berharga bagi seorang Ibu yang telah bersusah payah mengandung dan melahirkannya. Dan, ia tak mau pengorbanan Ibu yang dikasihi dan dihormatinya menjadi sia-sia hanya karena egonya sebagai remaja galau yang sedang berproses mencari jati dirinya (demikian Akbar mendeskripsikannya). Kedekatan emosional yang terbangun antara Akbar dengan kedua orangtua dan saudara kandungnya merupakan kekuatan tersendiri yang mendorong Akbar mengikuti suara hatinya. Ia berhasil melepaskan ilusinya akan jihad dan maskulinitas absurd yang dipropagandakan ISIS melalui media sosial. 

Saat berbincang dengan Pak Yusri, Ayahanda Akbar, beliau bercerita bahwa di keluarga mereka ada kebiasaan yang menjadi ritual keluarga, yaitu berkumpul selepas sholat Maghrib. Betapa Indahnya! Sayangnya, ritual keluarga semacam itu sekarang ini menjadi kebiasaan yang teramat langka untuk dilakukan oleh banyak keluarga di negeri ini. 

LOVE always wins... cinta yang sedemikian kuat yang ia rasakan terhadap kedua orangtua dan saudara kandungnya, itulah yang memenangkan hatinya. Keluarga teramat berarti bagi Akbar. Itulah bukti dahsyatnya kekuatan cinta antara orangtua dan anak. 

Masyaa Allah...

Segalanya hanya terjadi atas skenario dan kehendak Sang Maha Rahman dan Rahiim. 

Saya sendiri baru bertemu dengan Akbar dan keluarganya. Tapi saat saya berkesempatan berbicang dengan ayah dan ibu Akbar, saya dapat merasakan betapa mereka sebagai pasangan suami-isteri dan orangtua, membangun koneksi jiwa yang kuat. Kehangatan kasih keduanya tervibrasikan kepada ketiga putera/i-nya demikian indah.

Ayah Akbar adalah guru SD. Dan Ibunya guru SMA. Keduanya pendidik. Berbicara dengan mereka berdua, saya dapat merasakan keramahan dan kebersahajaannya. Bukan kebetulan mereka berdua berprofesi sebagai guru. Semua sudah dalam pengaturan Allah swt. 

Keluarga Akbar adalah bukti nyata bahwa pendidikan yang utama sejatinya adalah di dalam keluarga. Pendidikan yang berlandaskan cinta dan kasih sayang. Pendidikan yang membangun koneksi jiwa yang kuat antar anggota keluarga. Pendidikan seperti ini kurikulumnya tidak didapatkan melalui sekolah formal maupun informal. Hanya ada pada keluarga yang memiliki kesadaran penuh akan peran dan tanggung jawabnya, baik sebagai pasangan suami-isteri maupun sebagai orangtua dari anak-anaknya. 

Di dalam film dokumenter yang dibuatnya, Noor Huda berhasil merekam momen indah saat Akbar pulang dari Turki, setelah ia memutuskan tidak jadi bergabung dengan ISIS dan kembali pada keluarganya di Aceh. Ia di sambut oleh ayah dan ibunya di depan rumah mereka. Akbar langsung memeluk Ibunda yang dikasihinya sambil menangis. Emosinya berbaur antara bahagia, menyesal, sedih dan perasaan lega. Seketika ruangan tempat kami nobar pun dilingkupi suasana haru... saya dan beberapa teman tak kuasa membendung airmata, kami terlarut dalam momen indah itu. 

Satu tantangan hidup telah berhasil dilewati Akbar. Namun perjuangannya belum usai. Ia masih harus kembali ke Turki menyelesaikan pendidikan SMA-nya yang menurut ayahnya tinggal tujuh bulan lagi. Sabtu pekan ini putera semata wayangnya itu akan kembali ke Turki. Bismillah ya, Akbar... insyaa Allah senantiasa dalam penjagaan terbaik dari Allah swt, dan selalu dalam bimbingan serta keridhoanNya. Allahumma amiin...

Di akhir acara, kami daulat Akbar melakukan book signing dadakan untuk novel yang ia tuliskan bersama Astrid Tito, "Boys Beyond the Light," yang terinspirasi dari film dokumenter "jihad Selfie".

Saat giliran saya meminta tanda tangannya, saya sampaikan bahwa novel itu adalah hadiah untuk puteri saya, Syifa. Ini pesan yang dituliskan Akbar:

To: Syifa
Selamat membaca
Semangat belajar ya
Buat ortumu tersenyum

Saya pun lantas terbayang wajah puteri tunggal saya, yang telah menjadi yatim sejak ia berusia 7 tahun. Kini usianya 15 tahun. Ia pernah menyampaikan cita-citanya menjadi film maker, dan berkeinginan melanjutkan pendidikan di satu negara yang dikenal dengan kepiawaiannya dalam membuat film. 

Insyaa Allah. Amiin ya, Nak. 

Untuk puteriku, Syifa, Akbar dan anak-anak Indonesia lainnya yang sedang menapaki perjalanan sebagai khalifahNya di bumi ini. Teguhkan niat kalian menuntut ilmu untuk kebaikan dan manfaat, jaga dengan iman dan taqwa padaNya. Amalkan melalui perilaku dan sikap nyata kepada diri dan sesama. Tanamkan kuat cintaNya di dalam jiwa. Hasbunallah wa ni'mal wakil ni'mal maula wa ni'man nashir. 

Puisi ini untuk mengingatkan kalian, bahwa setinggi-tinggi terbang bangau, jatuhnya ke kubangan juga. Keluarga lah sejatinya tempat hati kalian berlabuh...


SURAT DARI IBU
karya Asrul Sani

Pergi ke dunia luas, anakku sayang
pergi ke hidup bebas!
Selama angin masih angin buritan
dan matahari pagi menyinar daun-daunan
dalam rimba dan padang hijau.

Pergi ke laut lepas, anakku sayang
pergi ke alam bebas!
Selama hari belum petang 
dan warna senja belum kemerah-merahan
menutup pintu waktu lampau.

Jika bayang telah pudar
dan elang laut pulang ke sarang
angin bertiup ke benua
Tiang-tiang akan kering sendiri
dan nakhoda sudah tahu pedoman
boleh engkau datang padaku!

Kembali pulang, anakku sayang
kembali ke balik malam!
Jika kapalmu telah rapat ke tepi
kita akan bercerita
"Tentang cinta dan hidupmu pagi hari."


Untuk informasi lebih lengkap mengenai film dokumenter "Jihad Selfie", silakan buka link ini: http://www.jihadselfie.com

Foto-foto oleh: Anggy Soetirto-Gustiza, Imar Amran, Syifa Khalila

Sunday, August 21, 2016

Writing is Healing

Bagi saya menulis itu seperti bernafas...
Setiap hari saya butuh menulis. Di dalam tas saya, selalu ada buku catatan dan pena. 

Meskipun saya juga membawa serta iPad, tetap terasa berbeda jika saya menulis menggunakan tangan kanan saya. 

Memegang pena, mengajak jemari saya menari di atas kertas memiliki sensasi dan pesona tersendiri bagi saya. 

Menulis bukan sekadar karena saya suka melukis kata melalui goresan pena. Menulis nyatanya bersifat terapeutik. Memulihkan.

Mengutip Anne Frank, "I can shake off everything as I write, my sorrows disappear, my courage is reborn." 

Yeup! Setuju dengan Ms Frank. Dan, pernyataan yang sama juga saya temukan dalam satu artikel yang saya baca di Psychology Today, tulisan Carolyn L. Rubenstein: 
"Writing is truly a unique tool for self-exploration and inner growth as much as it is a facilitator of change in our lives as we desire. And, from the art of writing, we learn and grow alongside a practical, far-reaching skill and method of communication that empowers us to share our own happinessgratitude and fulfillment and, through our words, to do good and sow love in the lives of all those around us."  
Saya percaya itu. Karenanya, dalam memberikan home assignment bagi klien-klien saya, menulis menjadi satu agenda yang saya rekomendasikan. Saya masih ingat sesi kuliah dari seorang Guru Besar di Fakultas Psikologi UI, Prof. Dr. Fuad Hasan (alm), beliau menyampaikan bahwa untuk membantu kita memahami masalah yang sedang kita hadapi dan mencari solusinya... kita perlu "berjarak" dengan masalah kita. Ibaratnya kita sedang membangun helicopter view, untuk membantu kita bersikap obyektif dan memudahkan kita lebih aware terhadap diri, lingkungan di luar diri kita dan tentunya problem yang sedang kita hadapi.

So, kalau mau baper (baca: bawa perasaan) yang efektif...he he he... tehnik ini bisa digunakan. Tuliskan semua uneg-uneg yang mengganjal dan bikin sesak. Setelah semua dituliskan, ambil momen untuk relaksasi sejenak. Boleh pejamkan mata, lalu perlahan tarik nafas dan keluarkan. Menulis membantu kita "berjarak" dengan masalah kita. Karena ganjelan itu sudah kita keluarkan... di atas kertas atau pada screen smartphone ataupun komputer, seolah sedang menyalakan mesin helicopter dan pelan-pelan mengangkat kita, meluaskan pandangan dan membuka cakrawala berpikir kita. 

Afdolnya, tehnik ini perlu diujicobakan dan beri kesempatan pada diri kita agar secara rutin melakukannya, supaya efeknya bisa terasa. Awalnya mungkin muncul keraguan, "Apa saya bisa menulis...?" Ini memang tantangannya. Tapi jika ada kemauan pasti ada jalan. Dan, itu benar. Yang penting ada kemauan. Perkara bisa menulis atau tidak dan bagaimana menulis curhatan agar efektif... itu bisa dipelajari, bisa disiasati. 
"Writing is not alone a method of communication or a practical skill that people ought to learn: writing is itself a profound teacher that will guide you toward a happier, more contented and positively purpose-driven life. You don't need to be a writer, creative or artist, whether in name or profession, to achieve those benefits, either." 
Begitu yang disampaikan David Ursilo yang mengajarkan self-reliance dan personal leadership melalui menulis, yoga dan bercerita. Menurutnya siapapun bisa menulis. 

Saya sendiri hampir setiap malam menulis. Journalling. Semacam menulis diary. Investasi waktu yang saya alokasikan sekitar 10 - 15 menit, menjelang tidur malam. Setiap selesai menulis... ada kelegaan yang saya rasakan, seperti ada yang terangkat dan terlepas. Berdasarkan pengalaman, ternyata menulis melatih saya untuk jujur pada diri sendiri, bersedia berpasrah, bersabar, dan mau berproses serta disiapkan untuk mengalir melalui arus kehidupan yang kadang deras dan kadang pula tenang. 
"You don't always have to pretend to be strong, there is no need to prove all the time that everything is going well, you shouldn't be concerned about what other people are thinking. Cry if you need to, it's good to cry out all your tears, because only then you will be able to smile again...” ― Paulo CoelhoLike the Flowing River 

Saturday, August 13, 2016

The Book of Love

There are two people you will meet in your life.
One will run  a finger down the index of who you are,
and jump straight to the parts of you that peak their interest.
The other will take his or her time reading through every page of your chapter
and maybe fold corners of you that inspired them the most.
You will meet these two people; it is a given.
It is the third that you will never see coming.
That one person who not only finishes your sentences, but keeps the book.

Tulisan itu entah dimana saya temukan. Yang pasti saat membacanya, saya seolah diajak menelusuri jalur ingatan jangka panjang saya hampir dua dasawarsa yang lalu.

Sebagai perempuan yang saat itu berumur 32 tahun dan masih single, tak jarang saya dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan klasik ini: "kapan nih bakal ada janur kuning dipasang?" atau "Mana calonnya? Kenalin dong!" Dan, bahkan ada pula komentar seperti ini: "Kamu psikolog soalnya, jadi picky... banyak pertimbangan soal kriteria calon suami!" Hmmm...

Saya pun cuma senyum-senyum mendengarnya, dan biasanya pakai senjata pamungkas di ujung senyum saya, "Insyaa Allah... mohon do'anya yaaa..." Bil khusus bagi yang rada agresif dan kepo, saya ajukan tawaran, "Makanya bantuiin cariin dong..." (minus sikap memelas manja). Pernah juga dengan kejahilan saya merespons, "Belanda masih jauh tuh... makanya belum nyampe ke sini." (teuteup dengan senyum). Ha ha ha... yang ada saya dipelototin dan disuruh ngucap istighfar. 

Orang pertama dan orang kedua (seperti disebutkan dalam tulisan di atas) pernah mampir dalam urusan jodoh ini. Saya sendiri nggak mencari, dipertemukan begitu saja. Oleh Sang Khalik tentunya. Tapi namanya bukan jodoh, ya nggak ada kelanjutan ceritanya. Sekadar mereka dihadirkan sesaat, dan IA bawa berlalu lagi... entah kemana. 

Orang ketiga yang saya pikir nggak bakal muncul, ternyata IA hadirkan justru di saat saya sudah berpasrah pada apapun kehendakNya. 

Mungkin saya termasuk perempuan yang jarang merisaukan kesendirian saya. Bahkan sejak remaja sampai saya bertemu dengan sang orang ketiga di umur saya yang tidak muda lagi itu, saya nggak pernah berpacaran. Ajaib memang! Ha ha ha... There is always the first time... begitu kata orang. Yeup! Dengan the third one ini semua yang "pertama" pun saya alami... setelah menikah tentunya (if you know what I mean). 

Segalanya terjadi demikian bersahaja, dan dia lah yang meyakinkan saya bahwa dia tak hanya sekadar mempelajari dan membaca setiap halaman diri saya, tapi dengan kesungguhan dan ketulusanya mengajak saya menuliskan perjalanan kami bersama dalam satu buku yang berjudul, "Mitsaqan Ghalizha" (perjanjian yang kuat dan sangat berat). 

Delapan tahun lima bulan dan sepuluh hari...
Itulah jumlah durasi waktu kami menuliskan buku cintaNya. Till death do us part. IA maha mempertemukan, dan IA pula yang memisahkan kami. 

Di hadapan saya sekarang, ada buku lain yang lembarannya hanya terisi tulisan saya. Akankah IA hadirkan orang keempat, yang diagendakan untuk memegang penaNya dan menuliskan kelanjutan kalimat-kalimat indahNya bersama saya...?

Wallahu alam.

"Love is a book written only by those brave enough to turn the page." -Michael Xavier

Wednesday, August 10, 2016

Summer in My Heart

"Everything good, everything magical happens between the months of June and August." - Jenny Han, The Summer I Turned

It is magical indeed...

5 Juli 2016 lalu, perjalanan saya dalam kehidupan ini resmi memasuki dekade yang kelima. Masyaa Allah... time has been flown so fast. Agenda ini terjadi semata atas cinta dan kuasaNya. 


Bersyukur sudah pasti. 


Allah beri saya waktu menjalani masa "seksi" (seket kurang siji alias lima puluh kurang satu) selama setahun kemarin, dan sekarang saya pun sudah menjadi "seket" (SEneng KEthunan, begitu paparannya dalam bahasa Jawa, yang artinya suka memakai kethu/tutup kepala/topi). Tutup kepala yang digunakan untuk mengaburkan rambut putih yang semakin gemah ripah dan gemulai menari-nari di atas kepala. Kethunan ini dalam falsafah Jawa juga konon menjadi reminder bagi insan untuk semakin rajin beribadah... membekali diri untuk nantinya akan pulang kembali padaNya. Insyaa Allah...



One Bel Park, August 5, 2016
Apa rasanya berusia 50 tahun...?

Yang pasti saya bahagia. Alhamdulillah. Karena, saya merasakan kasih sayang dan cintaNya melalui amanah usia ini. Apapun blessings-Nya bagi saya... saya bahagia dan tercukupi. 


Kuatirkah saya menjalani usia emas ini? 

Bukan rahasia lagi tentunya, usia setengah abad selain menggairahkan (kayaknya ini berlaku buat saya deh... ha ha ha... karena sejujurnya saya malah merasa makin bergairah lho... mbuh kenapa?), namun di sisi lain juga merupakan usia yang mengundang debaran jantung yang berbeda. Menopause. Nah, ini dia yang konon menjadi tantangan tersendiri bagi perempuan di usia ini.

Siapapun perempuan akan mengalami penghujung masa suburnya. Termasuk saya. Dan usia 50 tahun artinya sudah mendekati periode yang mendebarkan itu. Waktunya hanya DIA yang maha mengaturkan, saya hanya perlu mempersiapkan diri. 


Saat menulis ini, saya jadi teringat ucapan seorang guru kehidupan *) hampir 30 puluh tahun lalu, saat saya dan teman-teman seangkatan di Fakultas Psikologi UI sedang menjalani masa orientasi di kampus sebagai mahasiswa baru. Menurut beliau inisiasi yang kami jalani adalah bagian dari "Rite of Passage," **) Dan, saya menemukan penjelasan ciamik ini: 

"Every positive change - every jump to a higher level of energy and awareness - involves a rite of passage. Each time to ascend to a higher rung on the ladder of personal evolution, we must go through a period of discomfort, of initiation. I have never found an exception." - Dan Millman ***)
Guru kehidupan tersebut telah lama berpulang ke haribaanNya. Tapi pesan cinta yang beliau sampaikan masih saya ingat sampai saat ini. Dan, inilah yang antara lain membekali saya menapaki perjalanan emasNya nan indah dan penuh tantangan ini. 

Bismillah...


Menjadi tua adalah niscaya. Pengalaman istimewa yang menjadi berkahNya tersendiri.


And, I am thankful, my dear Lord...



Age is inevitable. 
It is simply the number of years the world has been enjoying us.
And, if we nurture a childlike heart, we never ever grow old.
May we age gratefully and gracefully.

I am embracing my 5O years-old warmly, like having summer in my heart...



*) Al Fatihah untuk Prof. DR. Yaumil Agus Achir, Psikolog


**) Rite of Passage, is a celebration of the passage which occurs when an individual leaves one group to enter another. (term in Cultural Anthropology; Wikipedia) 

***) Dan Millman, is an author of a semi-autobiographical novel, "Way of the Peaceful Warrior"




Tuesday, August 9, 2016

My Deepest Affection

I have the deepest affection
for intellectual conversations.
The ability to just sit and talk.
About love, about life, about anything, about everything.
To sit under the moon
with all the time in the world,
the full-speed train that is
our lives slowing to a crawl.
Bound by no obligations,
barred by no human limitations.
To speak without regret or fear of consequence.
To talk for hours and about what's really important in life. 
- unknown -