Sunday, August 21, 2016

Writing is Healing

Bagi saya menulis itu seperti bernafas...
Setiap hari saya butuh menulis. Di dalam tas saya, selalu ada buku catatan dan pena. 

Meskipun saya juga membawa serta iPad, tetap terasa berbeda jika saya menulis menggunakan tangan kanan saya. 

Memegang pena, mengajak jemari saya menari di atas kertas memiliki sensasi dan pesona tersendiri bagi saya. 

Menulis bukan sekadar karena saya suka melukis kata melalui goresan pena. Menulis nyatanya bersifat terapeutik. Memulihkan.

Mengutip Anne Frank, "I can shake off everything as I write, my sorrows disappear, my courage is reborn." 

Yeup! Setuju dengan Ms Frank. Dan, pernyataan yang sama juga saya temukan dalam satu artikel yang saya baca di Psychology Today, tulisan Carolyn L. Rubenstein: 
"Writing is truly a unique tool for self-exploration and inner growth as much as it is a facilitator of change in our lives as we desire. And, from the art of writing, we learn and grow alongside a practical, far-reaching skill and method of communication that empowers us to share our own happinessgratitude and fulfillment and, through our words, to do good and sow love in the lives of all those around us."  
Saya percaya itu. Karenanya, dalam memberikan home assignment bagi klien-klien saya, menulis menjadi satu agenda yang saya rekomendasikan. Saya masih ingat sesi kuliah dari seorang Guru Besar di Fakultas Psikologi UI, Prof. Dr. Fuad Hasan (alm), beliau menyampaikan bahwa untuk membantu kita memahami masalah yang sedang kita hadapi dan mencari solusinya... kita perlu "berjarak" dengan masalah kita. Ibaratnya kita sedang membangun helicopter view, untuk membantu kita bersikap obyektif dan memudahkan kita lebih aware terhadap diri, lingkungan di luar diri kita dan tentunya problem yang sedang kita hadapi.

So, kalau mau baper (baca: bawa perasaan) yang efektif...he he he... tehnik ini bisa digunakan. Tuliskan semua uneg-uneg yang mengganjal dan bikin sesak. Setelah semua dituliskan, ambil momen untuk relaksasi sejenak. Boleh pejamkan mata, lalu perlahan tarik nafas dan keluarkan. Menulis membantu kita "berjarak" dengan masalah kita. Karena ganjelan itu sudah kita keluarkan... di atas kertas atau pada screen smartphone ataupun komputer, seolah sedang menyalakan mesin helicopter dan pelan-pelan mengangkat kita, meluaskan pandangan dan membuka cakrawala berpikir kita. 

Afdolnya, tehnik ini perlu diujicobakan dan beri kesempatan pada diri kita agar secara rutin melakukannya, supaya efeknya bisa terasa. Awalnya mungkin muncul keraguan, "Apa saya bisa menulis...?" Ini memang tantangannya. Tapi jika ada kemauan pasti ada jalan. Dan, itu benar. Yang penting ada kemauan. Perkara bisa menulis atau tidak dan bagaimana menulis curhatan agar efektif... itu bisa dipelajari, bisa disiasati. 
"Writing is not alone a method of communication or a practical skill that people ought to learn: writing is itself a profound teacher that will guide you toward a happier, more contented and positively purpose-driven life. You don't need to be a writer, creative or artist, whether in name or profession, to achieve those benefits, either." 
Begitu yang disampaikan David Ursilo yang mengajarkan self-reliance dan personal leadership melalui menulis, yoga dan bercerita. Menurutnya siapapun bisa menulis. 

Saya sendiri hampir setiap malam menulis. Journalling. Semacam menulis diary. Investasi waktu yang saya alokasikan sekitar 10 - 15 menit, menjelang tidur malam. Setiap selesai menulis... ada kelegaan yang saya rasakan, seperti ada yang terangkat dan terlepas. Berdasarkan pengalaman, ternyata menulis melatih saya untuk jujur pada diri sendiri, bersedia berpasrah, bersabar, dan mau berproses serta disiapkan untuk mengalir melalui arus kehidupan yang kadang deras dan kadang pula tenang. 
"You don't always have to pretend to be strong, there is no need to prove all the time that everything is going well, you shouldn't be concerned about what other people are thinking. Cry if you need to, it's good to cry out all your tears, because only then you will be able to smile again...” ― Paulo CoelhoLike the Flowing River 

Saturday, August 13, 2016

The Book of Love

There are two people you will meet in your life.
One will run  a finger down the index of who you are,
and jump straight to the parts of you that peak their interest.
The other will take his or her time reading through every page of your chapter
and maybe fold corners of you that inspired them the most.
You will meet these two people; it is a given.
It is the third that you will never see coming.
That one person who not only finishes your sentences, but keeps the book.

Tulisan itu entah dimana saya temukan. Yang pasti saat membacanya, saya seolah diajak menelusuri jalur ingatan jangka panjang saya hampir dua dasawarsa yang lalu.

Sebagai perempuan yang saat itu berumur 32 tahun dan masih single, tak jarang saya dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan klasik ini: "kapan nih bakal ada janur kuning dipasang?" atau "Mana calonnya? Kenalin dong!" Dan, bahkan ada pula komentar seperti ini: "Kamu psikolog soalnya, jadi picky... banyak pertimbangan soal kriteria calon suami!" Hmmm...

Saya pun cuma senyum-senyum mendengarnya, dan biasanya pakai senjata pamungkas di ujung senyum saya, "Insyaa Allah... mohon do'anya yaaa..." Bil khusus bagi yang rada agresif dan kepo, saya ajukan tawaran, "Makanya bantuiin cariin dong..." (minus sikap memelas manja). Pernah juga dengan kejahilan saya merespons, "Belanda masih jauh tuh... makanya belum nyampe ke sini." (teuteup dengan senyum). Ha ha ha... yang ada saya dipelototin dan disuruh ngucap istighfar. 

Orang pertama dan orang kedua (seperti disebutkan dalam tulisan di atas) pernah mampir dalam urusan jodoh ini. Saya sendiri nggak mencari, dipertemukan begitu saja. Oleh Sang Khalik tentunya. Tapi namanya bukan jodoh, ya nggak ada kelanjutan ceritanya. Sekadar mereka dihadirkan sesaat, dan IA bawa berlalu lagi... entah kemana. 

Orang ketiga yang saya pikir nggak bakal muncul, ternyata IA hadirkan justru di saat saya sudah berpasrah pada apapun kehendakNya. 

Mungkin saya termasuk perempuan yang jarang merisaukan kesendirian saya. Bahkan sejak remaja sampai saya bertemu dengan sang orang ketiga di umur saya yang tidak muda lagi itu, saya nggak pernah berpacaran. Ajaib memang! Ha ha ha... There is always the first time... begitu kata orang. Yeup! Dengan the third one ini semua yang "pertama" pun saya alami... setelah menikah tentunya (if you know what I mean). 

Segalanya terjadi demikian bersahaja, dan dia lah yang meyakinkan saya bahwa dia tak hanya sekadar mempelajari dan membaca setiap halaman diri saya, tapi dengan kesungguhan dan ketulusanya mengajak saya menuliskan perjalanan kami bersama dalam satu buku yang berjudul, "Mitsaqan Ghalizha" (perjanjian yang kuat dan sangat berat). 

Delapan tahun lima bulan dan sepuluh hari...
Itulah jumlah durasi waktu kami menuliskan buku cintaNya. Till death do us part. IA maha mempertemukan, dan IA pula yang memisahkan kami. 

Di hadapan saya sekarang, ada buku lain yang lembarannya hanya terisi tulisan saya. Akankah IA hadirkan orang keempat, yang diagendakan untuk memegang penaNya dan menuliskan kelanjutan kalimat-kalimat indahNya bersama saya...?

Wallahu alam.

"Love is a book written only by those brave enough to turn the page." -Michael Xavier

Wednesday, August 10, 2016

Summer in My Heart

"Everything good, everything magical happens between the months of June and August." - Jenny Han, The Summer I Turned

It is magical indeed...

5 Juli 2016 lalu, perjalanan saya dalam kehidupan ini resmi memasuki dekade yang kelima. Masyaa Allah... time has been flown so fast. Agenda ini terjadi semata atas cinta dan kuasaNya. 


Bersyukur sudah pasti. 


Allah beri saya waktu menjalani masa "seksi" (seket kurang siji alias lima puluh kurang satu) selama setahun kemarin, dan sekarang saya pun sudah menjadi "seket" (SEneng KEthunan, begitu paparannya dalam bahasa Jawa, yang artinya suka memakai kethu/tutup kepala/topi). Tutup kepala yang digunakan untuk mengaburkan rambut putih yang semakin gemah ripah dan gemulai menari-nari di atas kepala. Kethunan ini dalam falsafah Jawa juga konon menjadi reminder bagi insan untuk semakin rajin beribadah... membekali diri untuk nantinya akan pulang kembali padaNya. Insyaa Allah...



One Bel Park, August 5, 2016
Apa rasanya berusia 50 tahun...?

Yang pasti saya bahagia. Alhamdulillah. Karena, saya merasakan kasih sayang dan cintaNya melalui amanah usia ini. Apapun blessings-Nya bagi saya... saya bahagia dan tercukupi. 


Kuatirkah saya menjalani usia emas ini? 

Bukan rahasia lagi tentunya, usia setengah abad selain menggairahkan (kayaknya ini berlaku buat saya deh... ha ha ha... karena sejujurnya saya malah merasa makin bergairah lho... mbuh kenapa?), namun di sisi lain juga merupakan usia yang mengundang debaran jantung yang berbeda. Menopause. Nah, ini dia yang konon menjadi tantangan tersendiri bagi perempuan di usia ini.

Siapapun perempuan akan mengalami penghujung masa suburnya. Termasuk saya. Dan usia 50 tahun artinya sudah mendekati periode yang mendebarkan itu. Waktunya hanya DIA yang maha mengaturkan, saya hanya perlu mempersiapkan diri. 


Saat menulis ini, saya jadi teringat ucapan seorang guru kehidupan *) hampir 30 puluh tahun lalu, saat saya dan teman-teman seangkatan di Fakultas Psikologi UI sedang menjalani masa orientasi di kampus sebagai mahasiswa baru. Menurut beliau inisiasi yang kami jalani adalah bagian dari "Rite of Passage," **) Dan, saya menemukan penjelasan ciamik ini: 

"Every positive change - every jump to a higher level of energy and awareness - involves a rite of passage. Each time to ascend to a higher rung on the ladder of personal evolution, we must go through a period of discomfort, of initiation. I have never found an exception." - Dan Millman ***)
Guru kehidupan tersebut telah lama berpulang ke haribaanNya. Tapi pesan cinta yang beliau sampaikan masih saya ingat sampai saat ini. Dan, inilah yang antara lain membekali saya menapaki perjalanan emasNya nan indah dan penuh tantangan ini. 

Bismillah...


Menjadi tua adalah niscaya. Pengalaman istimewa yang menjadi berkahNya tersendiri.


And, I am thankful, my dear Lord...



Age is inevitable. 
It is simply the number of years the world has been enjoying us.
And, if we nurture a childlike heart, we never ever grow old.
May we age gratefully and gracefully.

I am embracing my 5O years-old warmly, like having summer in my heart...



*) Al Fatihah untuk Prof. DR. Yaumil Agus Achir, Psikolog


**) Rite of Passage, is a celebration of the passage which occurs when an individual leaves one group to enter another. (term in Cultural Anthropology; Wikipedia) 

***) Dan Millman, is an author of a semi-autobiographical novel, "Way of the Peaceful Warrior"




Tuesday, August 9, 2016

My Deepest Affection

I have the deepest affection
for intellectual conversations.
The ability to just sit and talk.
About love, about life, about anything, about everything.
To sit under the moon
with all the time in the world,
the full-speed train that is
our lives slowing to a crawl.
Bound by no obligations,
barred by no human limitations.
To speak without regret or fear of consequence.
To talk for hours and about what's really important in life. 
- unknown -

Writing Saves Memories

Time flies,
but memories last forever.

Some people
come into our lives 
and quickly go.
Some stay for a while 
and leave footprints on our hearts.
And we are never ever be the same.

We might stop,
stay still
but the world will keep moving.
Seasons change, time flies.

The years go by
and time just seem to fly,
but the memories remain

Every time 
we embrace a memory,
we meet again with those we love...
for the heart never forgets.

Time flies,
but memories last forever.

The Guest House