Saturday, September 24, 2016

Hope Floats

"I said to my soul, be still and wait without hope, for hope would be hope for the wrong thing; wait without love, for love would be love of the wrong thing; there is yet faith, but the faith and the love are all in the waiting. Wait without thought, for you are not ready for thought: So the darkness shall be the light, and the stillness the dancing.” ― T.S. Eliot 

Hope Floats
Itu sebenarnya judul film yang dibintangi Sandra Bullock dan Harry Connick, Jr. 
Saya menontonnya pada September 1998. Wow... 18 tahun yang lalu ternyata.
Ada kenangan tersendiri terkait film itu. Bukan tentang filmnya. Tapi bahwa saat nobar dengan teman-teman itu, saya dipertemukan dengan seseorang yang ternyata sekian bulan kemudian melamar saya menjadi isterinya. Dan, dia lah ayah dari puteri tunggal kami. 

Usia saya waktu itu 32 tahun. Belum menikah. Dan, teman-teman nobar saya semuanya berstatus single, yang umumnya mulai deg-degan dengan status jomblo-nya itu. Termasuk saya... ha ha ha...

Yang menarik dari acara hang-out itu, karena memang sengaja diadakan supaya kami yang masih rajin melirik kiri-kanan mencari potensi kandidat buat dijajagi sebagai bakal pasangan hidup ini, punya kesempatan untuk tetap bisa menikmati kesendirian namun nggak kikuk karena ada yang nemenin dan punya agenda yang sama. We were in the same boat. 

Maklum jaman saya umur segitu, nggak lazim aja perempuan belum menikah. Status single sering mengundang orang lain berasumsi yang bukan-bukan. Saya sendiri sering banget menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang mengundang "emosi jiwa" (istilah teman-teman saya), dan bikin jadi sensitip (kata orang Sunda). Apalagi karena adik laki-laki saya yang semata wayang menikah lebih dulu dari kakaknya ini. 

Pertanyaan mainstream seperti "Udah ada calon belum?" sampai pada komentar subyektif yang menohok di dalam dada, "Sibuk berkarir banget ya, sampai nggak sempet cari jodoh." Yuuuukkkkk... Dan, saya pun cuma bisa senyum tanpa menanggapi apapun. Yang nggak jarang bikin orang yang bertanya makin bingung. 

Kembali ke Hope Floats...
Meskipun judul filmnya begitu afirmatif dan menjanjikan, waktu saya diajak teman-teman kumpul di Sabtu sore itu dan agendanya nonton film bareng, secara "saya mah gitu orangnya" (kekinian banget sik kalimatnya)... ha ha ha... saya confirmed untuk ikut, meskipun dengan pesan sponsor, "Gue cuma ikutan nonton filmnya aja ya, nggak ikut dinner bareng, soalnya udah ada janji yang lain." So, I just went with the flow. Seneng aja bisa kumpul bareng teman-teman "senasib seperjuangan"... qiqiqiqiqi... dan nonton film yang bintangnya saya suka. Drama percintaan pulak! One of my favorite kind of movies.

 
Saya nggak tahu, bahwa Tuhan punya agendaNya tersendiri.
Justru di saat saya sedang asik melenggang kangkung dengan kesendirian saya, DIA pertemukan saya dengan sahabat dari teman baik saya, yang dia kenal sejak mereka SD. Bahkan SMP dan SMA mereka pun di sekolah yang sama. Layaknya orang baru bertemu, ya kami pun saling berkenalan. Dia yang ulurkan tangan, "Kita duduk sebelahan, tapi belum kenalan." Saya jabat tangannya, sambil sebutkan nama panggilan saya. That's it. Saya sendiri tidak menaruh harapan apapun. Bahkan kesan yang muncul pun sangat biasa. 

Biasa buat saya, tapi ternyata istimewa bagi Tuhan. Dan saya nggak ngeh, sampai empat bulan kemudian, di bulan Ramadhan. Dengan teman-teman yang sama dan sehaluan itu, kami buat acara nobar lagi plus buka puasa bersama. Saat itu bulan Ramadhan 1999. Dan, saya pun dipertemukan lagi dengan dia. 

Uniknya pada kumpul bareng yang kedua kali itu, kami duduk bersebelahan lagi. Dan, di sela obrolan kami, tiba-tiba dia mengajukan pertanyaan, "Elo lagi ambil S2 ya?", singkat saya jawab, "Iya. Kenapa?", lalu dia melanjutkan pertanyaannya, "Kalau nanti ada yang ngelamar untuk diajak nikah, gimana?" Hmmm... sambil senyum-senyum santai saya jawab, "Ya seneng dong, itu artinya kan gue laku..." Dan kami pun tertawa sama-sama.

Anehnya, saya kok ya nggak merasa ge-er (gede rasa) dengan pertanyaan kepo-nya itu. Biasa aja. Aslik!

Sebulan setelah itu, kami bertemu lagi, dan itu atas inisiatifnya. Dia mengajak minum kopi bareng. Berdua saja. Begitulah... 

Lalu sebulan kemudian kami bertemu lagi, dan dia pun melamar saya menjadi isterinya. Enam bulan setelah deklarasi kami "jadian" itu, kami bertemu lagi... kali ini di pelaminan. Oktober 1999. Sembilan bulan kemudian, saya mengandung anak kami yang kedua. Alhamdulillah. Kehamilan saya yang pertama, dua bulan setelah menikah, mengalami keguguran. Blighted ovum

Setelah menikah, saya sempat tanyakan apa yang mendorongnya bertanya kepo sewaktu kami bertemu yang kedua kali itu? Ini katanya, "Nggak tau. Tau-tau kepingin nanya aja. Aku juga nggak ngerti. Emang kita udah jodoh aja kayaknya."

Sang Maha Cinta dan semua agendaNya. Masyaa Allah...

Never lose hope, my dear heart. 
Miracles dwell in the invisible.
-Rumi


Terima kasih gank "Desperado
(mengenang momen kebersamaan kita di malam Muli Meranai, 1998)

No comments:

Post a Comment