Bagaimana perasaan orangtua jika putera yang dulu ditimang-timang, diasuh dan dirawat serta dididik, bertahun kemudian di usia mudanya memilih jalannya sendiri, menjadi teroris...???
Entah bagaimana menggambarkannya... berbaur antara shock, denial, marah, cemas, takut, bingung, sedih, kecewa... berkecamuk dan bergemuruh di dalam dada. Sejak di dalam kandungan, orangtua membangun harapan dan munajatkan do'a agar ananda yang dikasihinya tumbuh dan berkembang menjadi anak shalih, beriman kuat, berilmu tinggi dan pandai beramal. Namun jika di kemudian hari ia memilih jalan yang sangat tidak biasa dan bahkan radikal seperti menjadi teroris... umumnya orangtua tidak akan rela. Setiap orangtua menginginkan yang terbaik bagi anaknya, dan menjadi teroris tak pernah ada dalam kamus harapan dan do'a orangtua.
Film dokumenter "Jihad Selfie" yang dibuat secara khusus oleh Noor Huda Ismail, kandidat Doktor yang saat ini bermukim di Melbourne, Australia, dan berprofesi sebagai Terorrist Rehabilitation Coach, menampilkan satu sosok anak muda asal Aceh, Teuku Akbar Maulana, 18 tahun, yang nyaris berangkat ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS (Islamic State of Iraq and Syria), jaringan teroris internasional yang sepak terjangnya memunculkan keresahan di mana-mana.
Film itu saya saksikan pada Selasa malam lalu, 26 September 2016 di lantai 28 Energy Building, SCBD, Jakarta, melalui acara nobar dengan keluarga besar Bina Antarbudaya (yang menjalankan program pertukaran pelajar AFS, dimana saya dan teman-teman pernah mengikuti program tersebut berpuluh tahun lalu dengan host countries yang berbeda-beda).
Kami beruntung saat nobar tersebut Akbar, demikian panggilan pemuda asal Aceh tersebut, berkesempatan hadir bersama kedua orangtuanya, Pak Yusri dan Ibu Rina, serta dua saudara kandung Akbar, Cut Anita (kakak) dan Cut Amira (adik). Sebelumnya Akbar dan Noor Huda selama hampir sebulan kemarin telah melakukan roadshow film dokumenter "jihad Selfie" ke beberapa kota di Indonesia, dan berdiskusi perihal film tersebut.
Politik dan terorisme bukanlah ranah yang saya akan jamah untuk membuat tulisan ini. Namun saat menyaksikan "Jihad Selfie" dan berdialog dengan Akbar dan keluarganya, saya sempat membuat beberapa catatan berdasarkan sharing dan pengamatan saya terhadap interaksi Akbar dengan keluarganya:
1. Sejak SMP Akbar sudah merantau. Ia melanjutkan pendidikannya di kota Banda Aceh yang berjarak sekitar 8 jam perjalanan melalui darat dari desa tempat tinggalnya di Susoh, Aceh Barat Daya. Di sinilah awal kemandiriannya terasah. Tinggal jauh dari orangtua pada usia yang masih teramat belia tentu memiliki tantangan tersendiri. Ibunya bercerita bahwa selepas SD, Akbar lah yang justru meminta untuk melanjutkan pendidikan di kota dan menetap di asrama. Ia sudah tahu yang menjadi keinginannya dan mulai membangun ambisinya. Kelak kemandirian berpikir dan bertindak inilah yang menjadi bekalnya menentukan pilihan hidup yang tidak mudah baginya. Salut pada orangtua Akbar, yang memberikan restu dan kepercayaan pada puteranya untuk merantau menimba ilmu meskipun usianya masih teramat belia. (Saya sendiri baru berangkat merantau ke Jepang mengikuti program AFS saat usia saya 19 tahun. Tahun 1986-1987).
2. Selepas SMP, Akbar kembali merantau untuk melanjutkan SMA. Prestasinya di bidang akademik dan olahraga (ia berkali-kali menang dalam pertandingan Badminton), mendukungnya mendapatkan beasiswa penuh dari Turkey Diyanet Foundation. Akbar bersekolah di International Mustafa Gemirli Anatolia Imam Hatip High School di Kayseri, Turki, dimana salah seorang alumnusnya yaitu Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan. Di sekolahnya, Akbar dikenal sebagai siswa yang berprestasi. Ia piawai dalam kemampuan public speaking. Di dalam film dokumenter tersebut, ada momen yang terekam saat ia berpidato di kelasnya, dan memukau teman-teman serta gurunya. Sebagaimana umumnya remaja, ia pun sempat melalui periode yang tidak mudah, dan di saat itu lah ia sempat menghadapi konflik dengan egonya. Sebagai remaja laki-laki yang memerlukan role model, ia memiliki ketertarikan untuk tampil gagah dan macho seperti beberapa teman sekolahnya yang telah bergabung menjadi pasukan ISIS di Suriah. Melalui foto2 selfie yang dishare teman-temannya di media sosial, Akbar jadi sering membayangkan dirinya memakai seragam layaknya pejuang yang berjihad dan memegang senjata. Fokusnya pada studi mulai berkurang, apalagi menurutnya materi yang dipelajarinya di sekolah kurang memberikan tantangan. Tujuannya yang semula datang ke Turki untuk belajar, mulai goyah. Ia mulai berpikir untuk ikut program rekrutmen ISIS sebagaimana teman-temannya yang lebih dulu. Ia berada pada persimpangan jalan. Mimpinya terbelah dua, meraih cita-citanya sebagai hafiz (penghapal qur'an) dan menjadi pejuang Islam yang disiapkan untuk mati syahid. Dalam pergumulan batinnya itu, Akbar tetap menjaga komunikasi dengan kedua orangtua dan saudara-saudaranya di Aceh. Ia bahkan sharing foto-foto teman-temannya yang telah bergabung dengan ISIS. Sehingga meskipun terpisah jarak dan waktu dengan ayah-ibunya, namun rutinnya chatting yang ia lakukan melalui alat komunikasi digital dengan keluarganya, membantunya membangun komunikasi terbuka dengan kedua orangtuanya. Di sisi lain ayah-ibunya pun tetap terinformasikan mengenai kabarnya. Hal ini yang tidak terjadi pada teman-teman Akbar yang lain, terutama yang sudah pergi ke Suriah dan bergabung dengan ISIS. Bahkan di antaranya ada yang berangkat tanpa restu dari orantuanya. Allah swt punya cara indahNya untuk menjagamu, Akbar...
3. Saat menghadapi pergumulan batin itu, Akbar sempat berdialog dengan seorang gurunya di sekolah Imam Hatip (momen ini direkam oleh Noor Huda, yang memperlihatkan Akbar yang menangis menceritakan konflik yang dihadapinya). Setelahnya ia seperti merasa beban emosinya jadi jauh berkurang. Jiwanya memperoleh pencerahan. Dituntun kesadaran dan ketenangannya, Akbar akhirnya mampu membuat keputusan. Ia memilih mengikuti suara hatinya, dan memutuskan tidak jadi berangkat ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS. Hatinya lebih cenderung memilih keluarganya. Rasa cinta dan hormat pada kedua orangtuanya serta perasaan sayang terhadap kakak dan adiknya memberatkan Akbar melangkah lebih jauh. Nyawanya terlalu berharga bagi seorang Ibu yang telah bersusah payah mengandung dan melahirkannya. Dan, ia tak mau pengorbanan Ibu yang dikasihi dan dihormatinya menjadi sia-sia hanya karena egonya sebagai remaja galau yang sedang berproses mencari jati dirinya (demikian Akbar mendeskripsikannya). Kedekatan emosional yang terbangun antara Akbar dengan kedua orangtua dan saudara kandungnya merupakan kekuatan tersendiri yang mendorong Akbar mengikuti suara hatinya. Ia berhasil melepaskan ilusinya akan jihad dan maskulinitas absurd yang dipropagandakan ISIS melalui media sosial.
Saat berbincang dengan Pak Yusri, Ayahanda Akbar, beliau bercerita bahwa di keluarga mereka ada kebiasaan yang menjadi ritual keluarga, yaitu berkumpul selepas sholat Maghrib. Betapa Indahnya! Sayangnya, ritual keluarga semacam itu sekarang ini menjadi kebiasaan yang teramat langka untuk dilakukan oleh banyak keluarga di negeri ini.
LOVE always wins... cinta yang sedemikian kuat yang ia rasakan terhadap kedua orangtua dan saudara kandungnya, itulah yang memenangkan hatinya. Keluarga teramat berarti bagi Akbar. Itulah bukti dahsyatnya kekuatan cinta antara orangtua dan anak.
Masyaa Allah...
Segalanya hanya terjadi atas skenario dan kehendak Sang Maha Rahman dan Rahiim.
Saya sendiri baru bertemu dengan Akbar dan keluarganya. Tapi saat saya berkesempatan berbicang dengan ayah dan ibu Akbar, saya dapat merasakan betapa mereka sebagai pasangan suami-isteri dan orangtua, membangun koneksi jiwa yang kuat. Kehangatan kasih keduanya tervibrasikan kepada ketiga putera/i-nya demikian indah.
Ayah Akbar adalah guru SD. Dan Ibunya guru SMA. Keduanya pendidik. Berbicara dengan mereka berdua, saya dapat merasakan keramahan dan kebersahajaannya. Bukan kebetulan mereka berdua berprofesi sebagai guru. Semua sudah dalam pengaturan Allah swt.
Keluarga Akbar adalah bukti nyata bahwa pendidikan yang utama sejatinya adalah di dalam keluarga. Pendidikan yang berlandaskan cinta dan kasih sayang. Pendidikan yang membangun koneksi jiwa yang kuat antar anggota keluarga. Pendidikan seperti ini kurikulumnya tidak didapatkan melalui sekolah formal maupun informal. Hanya ada pada keluarga yang memiliki kesadaran penuh akan peran dan tanggung jawabnya, baik sebagai pasangan suami-isteri maupun sebagai orangtua dari anak-anaknya.
Di dalam film dokumenter yang dibuatnya, Noor Huda berhasil merekam momen indah saat Akbar pulang dari Turki, setelah ia memutuskan tidak jadi bergabung dengan ISIS dan kembali pada keluarganya di Aceh. Ia di sambut oleh ayah dan ibunya di depan rumah mereka. Akbar langsung memeluk Ibunda yang dikasihinya sambil menangis. Emosinya berbaur antara bahagia, menyesal, sedih dan perasaan lega. Seketika ruangan tempat kami nobar pun dilingkupi suasana haru... saya dan beberapa teman tak kuasa membendung airmata, kami terlarut dalam momen indah itu.
Satu tantangan hidup telah berhasil dilewati Akbar. Namun perjuangannya belum usai. Ia masih harus kembali ke Turki menyelesaikan pendidikan SMA-nya yang menurut ayahnya tinggal tujuh bulan lagi. Sabtu pekan ini putera semata wayangnya itu akan kembali ke Turki. Bismillah ya, Akbar... insyaa Allah senantiasa dalam penjagaan terbaik dari Allah swt, dan selalu dalam bimbingan serta keridhoanNya. Allahumma amiin...
Di akhir acara, kami daulat Akbar melakukan book signing dadakan untuk novel yang ia tuliskan bersama Astrid Tito, "Boys Beyond the Light," yang terinspirasi dari film dokumenter "jihad Selfie".
Saat giliran saya meminta tanda tangannya, saya sampaikan bahwa novel itu adalah hadiah untuk puteri saya, Syifa. Ini pesan yang dituliskan Akbar:
To: Syifa
Selamat membaca
Semangat belajar ya
Buat ortumu tersenyum
Saya pun lantas terbayang wajah puteri tunggal saya, yang telah menjadi yatim sejak ia berusia 7 tahun. Kini usianya 15 tahun. Ia pernah menyampaikan cita-citanya menjadi film maker, dan berkeinginan melanjutkan pendidikan di satu negara yang dikenal dengan kepiawaiannya dalam membuat film.
Insyaa Allah. Amiin ya, Nak.
Untuk puteriku, Syifa, Akbar dan anak-anak Indonesia lainnya yang sedang menapaki perjalanan sebagai khalifahNya di bumi ini. Teguhkan niat kalian menuntut ilmu untuk kebaikan dan manfaat, jaga dengan iman dan taqwa padaNya. Amalkan melalui perilaku dan sikap nyata kepada diri dan sesama. Tanamkan kuat cintaNya di dalam jiwa. Hasbunallah wa ni'mal wakil ni'mal maula wa ni'man nashir.
Puisi ini untuk mengingatkan kalian, bahwa setinggi-tinggi terbang bangau, jatuhnya ke kubangan juga. Keluarga lah sejatinya tempat hati kalian berlabuh...
SURAT DARI IBU
karya Asrul Sani
Pergi ke dunia luas, anakku sayang
pergi ke hidup bebas!
Selama angin masih angin buritan
dan matahari pagi menyinar daun-daunan
dalam rimba dan padang hijau.
Pergi ke laut lepas, anakku sayang
pergi ke alam bebas!
Selama hari belum petang
dan warna senja belum kemerah-merahan
menutup pintu waktu lampau.
Jika bayang telah pudar
dan elang laut pulang ke sarang
angin bertiup ke benua
Tiang-tiang akan kering sendiri
dan nakhoda sudah tahu pedoman
boleh engkau datang padaku!
Kembali pulang, anakku sayang
kembali ke balik malam!
Jika kapalmu telah rapat ke tepi
kita akan bercerita
"Tentang cinta dan hidupmu pagi hari."
Untuk informasi lebih lengkap mengenai film dokumenter "Jihad Selfie", silakan buka link ini: http://www.jihadselfie.com
Foto-foto oleh: Anggy Soetirto-Gustiza, Imar Amran, Syifa Khalila